Selasa, 18 Oktober 2011

Kenali Diri Sendiri

Menyongsong tahun baru, sudah selayaknya bila kita berhenti melangkah sejenak untuk melihat kembali siapa diri kita yang sesungguhnya dan sampai di mana kita berjalan (berkembang). Dengan demikian, kita dapat kembali melangkah maju dengan lebih tenang, mantap, dan lebih pasti.

Hidup ini terasa sangat berharga bila kita menempuhnya secara sadar. Kesadaran yang dimaksudkan di sini adalah "mengerti secara utuh". Kesadaran membuat kita tenang karena mengerti, sehingga memungkinkan kita merespon dengan tepat berbagai situasi yang kita hadapi tanpa rasa konflik, tanpa rasa terpaksa, tanpa rasa terbeban, tanpa rasa takut, cemas, dan sebagainya.

Di sisi lain, hidup yang dijalani dengan kecemasan atau sebaliknya dengan penuh ambisi yang tidak realistis dan menghalalkan segala cara, berarti dijalani tanpa kesadaran penuh; berarti perhatian kita terlalu terfokus pada suatu hal tertentu di masa lalu atau di masa mendatang (yang bukan merupakan kenyataan) dan mengabaikan banyak hal saat ini yang sebenarnya sungguh berharga untuk disadari.

Menempuh hidup secara sadar memerlukan keberanian untuk melihat diri sendiri secara apa adanya. Bila kita telah dapat melihat diri sendiri secara utuh atau jernih siapa diri kita, kita akan mampu juga melihat realitas di luar diri secara jernih.

Lain halnya bila kita tidak sungguhsungguh mengenali diri sendiri, pemahaman kita terhadap dunia di luar diri akan terdistorsi (disesatkan) oleh motif-motif dan emosi-emosi kita yang tidak kita sadari.

Pada umumnya kita melihat diri sendiri hanya sepotong-sepotong, seperti rangkaian puzzle yang tidak tersusun secara utuh. Mengapa? Kita cenderung menghindari melihat atau menyentuh bagian diri kita yang tidak menyenangkan, yang tidak sesuai gambaran ideal yang kita angankan.

Padahal, penolakan terhadap bagian diri yang manapun pasti menghasilkan emosi negatif yang akan mengganggu ketenangan hidup kita. Mengapa? Bagian diri yang kita tolak akan berkembang menjadi musuh bagi diri kita sendiri. Padahal, bila kita terima, ia akan selaras dengan bagian-bagian din yang lain. Mungkinkah kita dapat melangkah maju secara sehat bila bagian-bagian diri kita dalam keadaan berkonflik? Itulah sebabnya kita perlu memiliki keberanian untuk berhenti sejenak.

Beberapa langkah dapat kita tempuh untuk dapat lebih mengenal diri kita sendiri, di antaranya adalah melalui introspeksi, mengamati perilaku sendiri, dan melalui orang lain.

Mengenal diri sendiri melalui introspeksi

Introspeksi adalah proses individu melihat ke dalam dirinya dan menguji pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan motif-motifnya sendiri. Meskipun ini sangat bermanfaat, ternyata jarang dilakukan.

Meskipun jarang berpikir mengenai diri sendiri, tentu saja kadang-kadang kita mengubah arah perhatian menyadari diri sendiri, terutama bila menghadapi situasi yang memicu kesadaran diri, misalnya bila kita sedang menghadapi masalah, melihat diri sendiri dalam cermin, dan sebagainya.

Seperti dijelaskan oleh Aronson dkk (2007) dalam bukunya Social Psychology, bila kita memusatkan perhatian pada diri sendiri, kita menilai dan membandingkan perilaku kita saat itu dengan standar internal dan nilai-nilai kita. Kita menjadi sadar diri, dalam arti menjadi objektif, menilai diri kita sendiri melalui pengamatan.

Duval & Silvia yang meneliti dinamika kesadaran diri menjelaskan sebagai berikut: Melalui refleksi diri kita menjadi sadar akan kesenjangan antara perilaku dengan standar internal kita. Bila kita merasa dapat mengubah perilaku sesuai dengan standar internal, kita akan melakukannya, dan merasa nyaman karenanya.

Namun, bila kita merasa tidak dapat mengubah perilaku kita, dalam keadaan sadar diri, kita akan merasa tidak nyaman karena berhadapan dengan umpan balik yang tidak menyetujui diri sendiri. Karena merasa tidak nyaman, biasanya orang cenderung melarikan diri dari kondisi sadar diri.

Untuk dapat menjauhkan diri dari kondisi sadar diri, sebagian dari kita melakukan berbagai upaya, antara lain dengan menyalahgunakan alkohol, pesta makanan, dan masokisme seksual. Contohnya, menjadi peminum alkohol merupakan cara untuk menghindari pikiran negatif mengenai diri sendiri. Beberapa penulis menyimpulkan: kenyataan bahwa orang-orang melakukan hal yang berbahaya, meskipun berisiko, merupakan indikasi betapa tidak menyenangkan bila kita dalam kondisi sadar diri.

Meski demikian, tidak semua bentuk pelarian dari diri sendiri (escaping the self) itu bersifat merusak. Berbagai bentuk pengalaman religius dan spiritual juga dapat diartikan sebagai penghindaran dari kondisi terfokus pada diri sendiri.

Selain itu, fokus pada diri sendiri juga tidak selalu tidak menyenangkan. Bila kita mengalami sukses besar, berfokus pada diri sendiri dapat terasa sangat menyenangkan karena hal itu memperjelas prestasi positif kita. Fokus pada diri sendiri dapat juga menjadi cara untuk keluar dari kesulitan, yaitu mengingatkan kita akan mana yang benar dan yang salah, sehingga kita memilih untuk bertindak benar.

Keterbatasan instrospeksi

Berbagai proses mental terjadi di luar kesadaran. Biasanya kita hanya sadar akan hasil akhir proses berpikir kita (misalnya bahwa kita jatuh cinta), namun tidak menyadari proses kognisi yang menyebabkan hasil tersebut. Itulah sebabnya, hanya dengan introspeksi mungkin tidak membuat kita menemukan penyebab pikiran atau perasaan kita, namun kita akan berhasil meyakinkan diri mengenai penyebabnya.

Nisbett & Wilson menyebut fenomena ini sebagai "telling more than we can know" karena penjelasan orang mengenai perilaku dan perasaannya sering jauh dari apa yang dapat mereka ketahui secara rasional.

Sebagai contoh, penelitian Wilson, Laser, & Stone (1982) dengan partisipan mahasiswa. Partisipan diminta mencatat suasana hatinya (mood) setiap hari selama lima minggu. Mereka juga diminta melacak hal yang mungkin menyebabkan mood mereka, misalnya cuaca, beban kerja, atau lama tidur pada malam hari sebelumnya.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, individu salah dalam memperkirakan apa yang memengaruhi suasana hati mereka. Contohnya, banyak orang mengira bahwa suasana hatinya dipengaruhi oleh lamanya waktu tidur, padahal kenyataan lamanya waktu tidur tidak memengaruhi mood.

Hal yang menjadi sandaran partisipan dalam memperkirakan penyebab perasaan atau perilakunya adalah teori-teori kausal (causal theories) yang ada dalam benak mereka. Yang dimaksud dengan teori-teori kausal di sini adalah teori-teori mengenai penyebab perasaan dan perilaku kita sendiri; di mana teori-teori tersebut sering kita pelajari dari budaya kita.

Masalahnya, skema pengetahuan dan teori-teori kita tidak selalu benar dan dapat mengakibatkan kesalahan dalam menilai penyebab tindakantindakan kita. Selain bersandar pada teori-teori kausal, dalam memperkirakan penyebab perasaan atau perilaku kita sendiri, kita juga bersandar pada informasi-informasi yang kita miliki mengenai diri kita sendiri.

Fakta menunjukkan bahwa bagaimanapun juga introspeksi tidak selalu memberikan jawaban yang benar mengenai penyebab perasaan dan perilaku kita. Itulah sebabnya, selain introspeksi kita perlu juga melakukan langkah pengenalan diri yang lain, yakni dengan mengamati perilaku kita sendiri dan juga melalui orang lain.

Mengenai dua langkah selain introspeksi ini akan dibahas dalam GHS edisi mendatang. Sampai jumpa! Salam sukses di tahun yang baru!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar