Minggu, 26 September 2010

Dilema

Hampir semua suami pasti pernah merasakan hal ini (kecuali bagi yang ibunya sudah meninggal dunia), terutama pada saat-saat awal pernikahan. Di satu sisi, ibu adalah seorang yang melahirkan, merawat, mendidik dan membesarkan sedangkan di sisi yang lain, istri adalah teman dalam menghabiskan sisa hidup serta ibu dari anak-anaknya. Si Ibu, sudah pasti akan sangat merasakan kehilangan anaknya, yang selama ini telah dirawatnya, dididiknya, disayangi sepenuh hati ke tangan orang lain. Sedangkan untuk si Istri, pastinya dia merasa bahwa sejak dilakukannya ijab qabul (atau pemberkatan/peresmian nikah bagi yang non muslim), si Suami telah menjadi miliknya, dan hanya dialah yang berhak memberikan perhatian lebih kepada pasangannya.
Lalu apa yang seharusnya dilakukan masing-masing untuk mengurangi friksi-friksi yang pasti akan terjadi?
Untuk para suami, hal ini bisa menjadi dilema yang serba sulit. Apalagi jika sebelumnya dia sangat dekat dengan ibunya. Bahkan pilihan untuk tinggal di mana setelah menikah juga merupakan hal yang sulit, karena si Ibu pasti ingin anaknya tetap tinggal bersamanya meskipun telah menikah, sedangkan bagi si Istri tentu saja akan lebih nyaman dan senang jika bisa tinggal terpisah dari mertuanya. Jika tidak memungkinkan untuk tinggal di rumah sendiri, maka tinggal dengan orang tua sendiri akan lebih nyaman dari pada tinggal dengan mertua bagi si Istri. Tentu saja tinggal terpisah dari kedua orang tua dari kedua belah pihak adalah pilihan yang terbaik di antara semua pilihan, tetapi tidak semua orang bisa menyewa atau membeli rumah sebelum menikah kan?
Satu hal yang harus diingat oleh suami adalah jangan pernah membanding-bandingkan si Istri dengan Ibunya. Istri manapun tidak akan pernah suka dibanding-bandingkan seperti itu. Juga sebisa mungkin jangan terlalu memuji Ibunya secara berlebihan di depan si Istri. Ajarkan istri untuk selalu hormat dan patuh kepada orang tua, baik kepada bapak ibunya sendiri maupun kepada bapak dan ibu suami. Berikan contoh yang baik kepada si Istri. Dengan menghormati dan mematuhi orang tua istri, otomatis (jika si Istri memang tahu diri J) si Istri juga akan menghormati dan mematuhi orang tua suami. Perlu diingat, bahwa beda pendapat adalah hal yang paling alami, tetapi meskipun kita beda pendapat cara penyampaiannya tetap harus dengan rasa hormat dan sayang.
Untuk para Ibu yang anaknya telah menikah, perlu diingat bahwa anak yang telah menikah seharusnya sudah terlepas dari tanggung jawab kita. Sebagai orang tua, kita memang tetap wajib untuk mengarahkan dan memberikan nasehat yang baik untuk anak kita, tetapi cukup dalam bentuk masukan dan saran, sedangkan keputusan tetaplah di tangan anak. Bagi orang tua yang tinggal dengan menantunya, sebisa mungkin jangan mencampuri urusan anak, baik dalam hal mengatur rumah, masakan, merawat anak apalagi dalam mengatur keuangan rumah tangga. Dari pengalaman, jika orang tua terlalu mencampuri urusan anak yang sudah menikah, sering berakibat rusaknya rumah tangga si anak. Jauhkan diri juga dari sifat pamrih, karena merasa telah membesarkan dan merawat serta mendidik anak hingga dewasa, maka si anak wajib memberikan balas jasa kepada mereka. Merawat dan membesarkan anak sebagai titipan Tuhan adalah sudah menjadi kewajiban orang tua, bukan sesuatu yang bisa dimintakan balas jasa. Satu lagi yang perlu diingat si Ibu (ataupun si Bapak) bahwa menikahnya anak bukan berarti mereka kehilangan anak, malah sebaliknya anak mereka bertambah dengan anak menantu.
Buat si Istri, menikahi suami berarti juga harus mau menikahi apa yang dipunyai suami, termasuk orang tua dan keluarganya. Bahkan dalam Islam, seorang anak yang sudah menikah, jika dia laki-laki adalah milik Ibunya, sedangkan jika dia perempuan adalah milik suaminya. Meskipun hal ini juga tidak bisa diambil secara semena-mena bahwa istri adalah milik suaminya dan suaminya berhak melakukan apapun terhadap istrinya seperti kata si Ahmad Dhani (Aw, that’s a NO NO, Dear!!!). Seandainya baik si Ibu maupun si Istri membutuhkan barang yang sama pada saat yang bersamaan, dan jika si Suami hanya mampu untuk mendapatkan satu barang saja, maka yang lebih berhak memilikinya adalah si Ibu. Anggaplah orang tua suami seperti orang tua sendiri (memang tidak akan semudah mengucapkannya). Tapi perlahan-lahan pasti hal ini bisa tercapai. Malah di beberapa kasus, istri lebih cocok dengan ibu suami daripada dengan ibu sendiri karena beberapa anak perempuan memang kurang cocok dengan ibunya. Tentu saja hal ini juga bukan contoh yang baik. Yang terbaik adalah bisa bersahabat dengan ibu sendiri maupun ibu mertua.
Satu tips lagi bagi newly-married couple, jika ada sesuatu yang dianggap tidak baik dari pasangan, janganlah mengadu kepada orang tua sendiri, tetapi kepada orang tua pasangan kita. Hal ini untuk menghindari campur tangan orang tua seperti yang telah dibahas di atas. Sudah pasti orang tua akan membela anak kandungnya. Dengan mengadukan pasangan ke orang tuanya diharapkan mereka bisa menasehati si anak untuk menjadi lebih baik. Tentu saja, sekali lagi, mengadukan di sini dengan sewajarnya, tetap sopan dan hormat, tanpa bermaksud untuk menjelek-jelekkan dan dengan niat tulus untuk kebaikan si pasangan.
Semua hal di atas akan dapat tercapai jika didukung oleh sikap ikhlas dalam melakukan segala hal, jauhkan diri dari sikap iri, dengki, pamer, sombong, arogan, serta bekali diri dengan iman dan takwa. Goodluck to ALL THE NEWLY-WED COUPLES!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar